SENI KACA KITA
SENI KACA KITA
Esai oleh Mikke Susanto
Agenda Indonesian Glass Art Festival (IGAF) ini lahir dari suasana seni di Yogyakarta yang kondusif. Sejumlah agenda pameran, pertunjukan, dan festival yang tergolong mapan menjadi latar penting untuk disebutkan di sini. Sebagai contoh diantaranya seperti Artjog, Kustomfest, Sumonar, Pasar Kangen, Ngayogjazz, serta sejumlah agenda lainnya yang secara simultan digelar setiap tahun. Setiap acara tersebut menawarkan gagasan dan materi yang berbeda. Tak salah bila kemudian IGAF memiliki peluang untuk menjadi agenda yang setara dengan “kakak-kakak”-nya tersebut.
Dengan adanya IGAF, posisi Yogyakarta dalam lanskap festival budaya semakin lengkap. Jika Artjog menyajikan seni rupa kontemporer, Sumonar menyuguhkan seni cahaya, Kustomfest menggelar barisan alat tunggang bermotor, sampai Pasar Kangen menggelar jajanan hingga arsip-arsip lawas misalnya, maka IGAF berpeluang untuk menjadi “pasar” bagi semua jejaring industri (dan seni) kaca. Inilah peluang yang menarik untuk dilihat.
Meskipun baru pertama dan menggunakan ruang dengan ukuran yang relatif kecil yakni di Bentara Budaya Yogyakarta, 6-8 November 2022–apalagi jika dibandingkan dengan para “senior”-nya–IGAF memberi kesan yang cukup mendalam. Seni kaca yang ditabuh sebagai materi utama ini memang belum cukup berkembang di Indonesia. Tidak seperti seni lukis, seni kriya, maupun seni instalasi pada umumnya. Keberadaan seni kaca di Indonesia masih dalam tataran akan berkembang sejalan dengan berbagai kemungkinan.
Industri budaya bermedium kaca di Indonesia sendiri memiliki sejarah yang panjang. Terbukti sejak masa prasejarah telah ditemukan manik-manik berbahan kaca yang menghiasi tubuh dan senjata pada masa tersebut. Artinya, sejak awal, tradisi dan pengolahan material silika telah direduksi oleh masyarakat sebagai bagian dari kehidupan di masa prasejarah. Jadi tak perlu melihat sejarah di wilayah lain, sebab penemuan artefak kaca di masa lampu telah mewarnai kehidupan di Nusantara.
Nun jauh sebelumnya, ada pendapat yang mengatakan bahwa manusia menemukan cara membuat kaca mungkin karena kecelakaan. Sejarawan Romawi, Pliny menulis di tahun 77 M. para pelaut Venesia menaburkan “abu soda” ke dalam api di pantai berpasir. Mereka kemudian menemukan sebuah “batu halus” dalam abu. Itulah hanya salah satu skenario, mengingat bahwa pasir, soda abu (sodium carbonate), dan panas adalah bahan untuk membuat kaca. Kemungkinan lain adalah pada saat pembuatan tembikar. Mereka sengaja membiarkan beberapa campuran pasir dan bahan-bahan lain pembentuk kaca ke dalam adonan tanah liat yang basah. Di saat pembakaran, lalu muncul kaca melapisi badan keramik tersebut.
Pada awalnya sangat sulit dan lambat untuk memproduksi kaca. Tungku peleburan yang mereka hasilkan hampir tidak cukup untuk melelehkan kaca. Namun pada abad pertama SM., pengrajin Suriah menemukan pipa pukulan. Penemuan revolusioner ini membuat produksi kaca lebih mudah, lebih cepat, dan lebih murah. Produksi kaca berkembang di Kekaisaran Romawi dan menyebar dari Italia ke semua negara di bawah kekuasaannya. Keterampilan dan teknologi yang dibutuhkan untuk membuat kaca dijaga ketat oleh Romawi. Tidak lama kemudian Kekaisaran Romawi hancur, keterampilan untuk membuat kaca telah menyebar ke seluruh Eropa dan Timur Tengah. Venesia, khususnya, mendapatkan reputasi untuk keterampilan teknis dan kemampuan artistik dalam pembuatan botol kaca dan cukup banyak pengrajin kota meninggalkan Italia untuk mendirikan pabrik kaca di seluruh Eropa.
Berlanjut dalam tradisi yang lebih luas cakupannya yakni munculnya budaya menggubah kaca sebagai bagian dari arsitektur hingga kesenian. Kita lihat dulu di masa lampau. Pada tahun 1000 Masehi kota Iskandariyah, Mesir adalah pusat yang paling penting dari pembuatan kaca. Sepanjang Eropa seni membuat kaca patri pada gereja-gereja dan katedral di seluruh benua mencapai puncaknya di terbaik jendela Katedral Chatres dan Conterbury yang dibuat pada abad ke-13 dan 14.
Di wilayah lain juga terdapat cerita. Joseph Paxtons Crystal Palace pada “Great Exhibition” tahun 1851 di Inggris menandai penemuan awal kaca sebagai bahan bangunan. Gedung baru yang revolusioner ini mendorong penggunaan kaca dalam arsitektur publik, domestik dan hortikultura. Teknik manufaktur kaca juga meningkat dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi semakin flesibel ini. Kaitan kaca dan arsitektur ini juga terjadi di sejumlah bangunan di Nusantara.
Salah satu kisah lainnya muncul tradisi seni lukis kaca di Indonesia pada abad ke-19. Tema-temanya berkisar pada motif cerita wayang (kisah Ramayana maupun Mahabharata), masjid, gereja, kaligrafi dan cerita legenda. Pada era ini seni kaca disebut sebagai “folksong in paint”. Ada juga yang menyebutnya sebagai lukisan kesucian, sebab tema-temanya berada pada topik keagamaan dan spiritualitas. Lukisan kaca ini digerakkan secara massal berkembang sangat pesat di Cirebon, Jogja, Surakarta, hingga Madura dan Bali. Hal ini menjadi pergerakan seni yang pesat mengingat mudahnya mencari selembar kaca dan cat kayu dengan harga terjangkau daripada membeli kanvas dan cat minyak asal Eropa yang ada di wilayah Jawa.
Baru pada era modern, ditandai dengan munculnya pabrik dan industri kaca yang menyebabkan benda seni yang bersifat fungsional ini turut berkembang. Gelas, piring dan seperangkat alat makan dengan berbagai bentuk, lampu dengan berbagai model, maupun perhiasan ruang berbasis kaca dengan variasi pola secara meyakinkan kita bahwa seni kaca bertebaran dimana-mana. Industri kaca akhirnya mampu mengubah cara pandang bahwa seni yang berada pada naungan massa tetaplah memiliki posisi mentereng, apalagi bila bersentuhan dengan rumah-rumah kaum elite. Dengan demikian makin jelas, bahwa perkembangan seni kaca tidak sebatas sebagai benda seni an sich! namun perlu diletakkan sebagai bagian dari benda fungsional yang estetik.
Tahun 1887 pembuatan kaca yang dikembangkan dari teknik tradisional (tiup) ke proses semi-otomatis dikembangkan oleh Ashley dengan memperkenalkan mesin yang mampu memproduksi 200 botol per jam di Castleford, Yorkshire. Ashley mengembangkan produksi botol kaca tiga kali lebih cepat daripada metode produksi sebelumnya. Kejadian ini turut mempengaruhi perkembangan seni kaca di seluruh dunia.
Pada tahun 1907, mesin otomatis pertama ciptaan Michael Owens dikembangkan di Amerika. Ia menjadi produsen benda dari kaca yang cukup besar dengan membuat pabrik bernama Owens Illinois di Manchester, Illinois. Pabriknya mampu membuat 2.500 botol per jam. Sampai saat itu pembuatan benda-benda kaca dipandang masih sebagai kerajinan bukan ilmu pasti. Barulah pada saat pembuatan kaca telah menggunakan perangkat modern hi-tech (seperti saat ini yang beroperasi di pasar global) menjadikan kaca sebagai industri.
Munculnya seni kristal (sebagai bagian dari seni kaca) sering terkait dan digunakan untuk lampu, gelas, almari, asesoris kamar, hingga sovenir menggejala sebagai ‘seni tinggi’ di sejumlah istana atau kerajaan di Jawa. Nyaris semua benda seni kristal yang ada di Kraton Jogja maupun Solo merupakan buatan Eropa. Hubungan antara kaum elite inilah yang mengarahkan perhatian kita terhadap eksistensi seni kaca sampai saat ini. Sulit menemukan pabrik pembuat lampu atau benda fungsional lainnya yang berkualitas tinggi yang pernah ada di Jawa. Jika pun ada, mungkin lebih banyak pabrik atau industri rumahan pembuat semprong atau kaca penutup lampu teplok yang banyak dijual di pasar-pasar tradisional di Jawa.
Sangat sulit membayangkan hidup modern tanpa kaca. Apa yang menempel di tubuh manusia diantaranya adalah kaca: serat optik, kacamata, jam tangan hingga gawai. Hampir semua instrumen yang ada di rumah, kantor, menggunakan kaca. Di tempat lain, pencakar langit, pesawat terbang, tidak usah dikisahkan lebih lanjut. Prinsipnya tanpa kaca, di malam hari kita tak mungkin mendapat cahaya buatan yang begitu gemerlap, karena kaca dibutuhkan untuk “membungkus” sumber cahaya: api.
Sementara, keriuhan bangunan modern di sekitar kita takkan semarak tanpa adanya kaca. Perhatikan pada sebuah mall, di dalamnya semua pengunjung dihadapkan lembaran kaca yang berfungsi ganda: sebagai pembatas (dinding), sekaligus bukan pembatas (transparansi ruang). Penggunaan kaca pada sebuah counter dalam mall seolah-olah memberi kita peluang untuk melihat apa yang ada di belakangnya, sekaligus memberi kita batas yang dilematis: mengundang sekaligus memberi kesan “mahal”.
Catatan menarik lain yang sangat khusus adalah tentang keberadaan pameran seni kristal yang pernah digelar di Indonesia. Pada tahun 1956, telah diselenggarakan pameran kristal steuben dengan menggunakan lukisan-lukisan oleh seniman Asia. Agenda ini merupakan bagian dari pameran keliling “Asian in Crystal: Stuben Glass” yang diadakan di National Gallery of Art Washington dan The Metropolitan Museum of Art New York, serta Sasono Dwi Abad Kraton Yogyakarta. Ada 3 seniman Indonesia yang turut serta di dalamnya, yakni Basoeki Abdullah, Made Djata, dan Agus Djaja. Selebihnya ada seniman dari Tiongkok, Jepang, Korea, Philipina, Vietnam, Thailand, Burma, Pakistan, India, Iran, Iraq, Syria, Turki, Mesir dan Srilanka. Pameran ini seperti sebuah kejutan ditengah langkanya peristiwa seni kaca di Indonesia sepanjang 7 dekade terakhir. Sebagai informasi saja, salah satu karya Basoeki Abdullah kin imenjadi koleksi Istana Presiden Republik Indonesia.
Seni kristal karya Basoeki Abdullah yang disajikan dalam Pameran “Asian in Crystal” yang kini menjadi bagian dari koleksi Istana Kepresidenan RI. Foto: repro katalog “Asian in Crystal”.
Selain munculnya pabrik kaca berteknologi modern, berkembang pula seni kaca yang dikembangkan di ranah akademik. Sejumlah sekolah dan perguruan tinggi seni rupa mengembangkannya ke arah objek-objek yang lebih luas, sekaligus khas. Di dalamnya, selain materi pelajaran seni lukis kaca yang paling umum, ada juga kaca patri (stained glass), mosaik, dan relief berbasis kaca. Di luar ranah akademik yang formal, tradisi seni kaca tiup maupun gaya seni kaca lain yang telah berkembang di Eropa akhirnya masuk ke Indonesia, meskipun masih senimannya masih dalam hitungan jari mereka membuka workshop secara privat maupun pelatihan informal lainnya.
Dalam pameran ini sejumlah 12 perupa menjadi partisipan. Secara mudah, jenis karya-karyanya dapat dibagi menjadi 3 pola dimensi. Pertama, seni kaca 3 dimensional, seperti pada karya Ivan Bestari, Herco Craft, dan Nathan Mahawi. Kedua, seni kaca 2 dimensional, seperti pada karya Rina Kurniyati, Rendra Kurniawan, dan Nugroho. Ketiga, seni kaca berdimensi campuran, seperti pada karya Agus Suwanda, Toni Konde, I Nyoman Indra Pradana, dan Ketut Santosa. Ketiga jenis ini menggulirkan sifat yang sama, kerentanan sebagai tantangan. Justru karena rentan, maka keindahan kaca menjadi lebih terasa.
Tidak semua partisipan adalah seniman kaca. Soenario Bernastowo misalnya. Selain bekerja sebagai juru laboratorium di Jurusan Teknik Kimia Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, ia memiliki pengetahuan dan kemampuan dalam mengolah kaca. Ia mendirikan CV. Glass Blower yang dipakainya sebagai ruang usaha bagi pembutuh alat-alat yang terkait dengan bahan kaca, termasuk untuk laboratorium kimia. Dalam pameran ini Soenario diundang untuk memberi tempat sebagai bentuk penghormatan akan jasanya pada bidang industri kaca. Selain Soenario juga ada Herco Craft atau Toni Konde yang secara umum mungkin lebih bebas disebut sebagai lembaga atau pribadi yang memiliki ketertarikan terhadap kaca.
Masih banyak hal menarik untuk dikupas dari pameran ini Keunikan dalam mengeksplorasi kaca sekaligus dalam mempresentasikannya sangat mungkin berimbas pada catatan historis di masa depan. Karya seni kaca dan sosialisasinya dalam bentuk pameran dan pelatihan serta festival, seperti IGAF kali ini memungkinkan terjadinya korelasi antar banyak pihak. Tidak semata-mata berkait dengan persoalan instrinsik karya seni maupun wacana pasarnya, namun juga aspek-aspek sosiologisnya yang lebih luas. Sebab seni kaca sesungguhnya punya kemungkinan untuk lebih dekat, lebih popular, lebih egaliter di depan publik dibandingkan dengan lukisan cat minyak pada sisi tertentu.
Kaca akan selalu ada di kehidupan kita. Di masa depan masih akan ada banyak aplikasi baru dan proses pengerjaan yang lebih jauh dalam mengekploitasi material kaca, baik ia sendiri maupun dikombinasi dengan bahan lain. Dengan meningkatnya kecanggihan perangkat elektronik, kebutuhan lain pun meningkat. Perangkat optik, elektronik dan digital seperti transmisi audio, video dan informatika adalah diantaranya yang memungkinkan turut mempengaruhi keberadaan kaca. Kaca, baik sendiri atau sebagai komposit bahan lain, akan meningkat pula aplikasinya ke bidang-bidang biologis, medis maupun seni di masa depan.
Setidaknya saya melihat bahwa seni kaca tidak hanya berperkara pada urusan spiritualitas, folk, maupun bersifat sosial-romantika masa lalu, tetapi bisa lebih dari itu. Seni kaca memungkinkan berkembang menjadi sarana entertaintment dan berdimensi masa depan. Apalagi di masa kini, pada saat seni kontemporer begitu berlimpah ruah, seni kaca bisa dan telah menjadi “sosial/ personal in paint” yang cukup penting untuk diperhatikan. Kita sedang menunggu perkembangan tersebut. Sebaiknya kita tonton dulu saja IGAF kali ini.